Jumat, 26 April 2013

The Sweet Moments

Aku benar-benar buat cerpen sekarang. Pendek. Insya Allah, I LOVE INTERNET aku lanjutin.

Back story!

Aku menatap langit biru mendung di sore ini. Taman ini mulai sepi. Biasanya, ada seseorang disampingku. Seorang yang mengerti aku. Tapi sekarang, aku sendirian. Dia pergi ... meninggalkanku ... seorang sahabatnya ...

Ketika mengingatnya, air mataku pelan-pelan berjatuhan. Aku kembali ingat masa-masa indahku dengannya. Bermain di sawah, liburan di puncak, ikut rekreasi outbound, sampai perayaan ultah aku dan dia. Aku semakin sedih. Dan berusaha menyeka air mataku terus. Tapi, air mataku terus menetes.

Angin berhembus kencang. Tetes-tetes air keluar. Ya, hujan. Satu kata yang tepat untuk kondisi ini.  Kalian pasti punya pemikiran yang sama jika hujan mulai datang. Ya, berlindung atau pergi ke rumah. Iya kan? Tapi tidak bagiku.

Air mata keluar, air hujan menetes. Sama saja, diriku sama-sama kedinginan. Aku mengingat memori dulu.

Namaku Meena. Lengkapku Ameena Shafira Elvi. Aku sekolah di sekolah elite dan mendapat beasiswa bersama Roxy. Teman yang menemaniku setiap saat dari mulai aku sekolah di sekolah elite itu. Dia sabar dan cerdas.

Roxanne Frieska Nakula. Kulitnya sawo matang. Bola matanya sedikit kecoklatan. Senyumnya selalu mengembang. Dia teman curhat paling pas, tempat rahasia paling terpercaya, tempat hiburan paling seru, dan tempat berbagi cerita paling nyaman.

Setiap hari, dia selalu wangi. Lebih wangi dari bunga kasturi. Dia selalu baik hati dan tak dapat dihitung kebaikannya dengan rumus matematika manapun. Dia selalu pemberani, tidak dapat dikalahkan oleh singa yang ganas. Dia selalu tersenyum sepanjang hari. Lebih panjang dari berpuluh-puluh ular.

Tapi, semestinya, aku yang salah! Dan bukan dia!

Oke, kalian pasti bingung. Kenapa aku bertindak seperti orang bodoh seperti ini. Itu karena aku hanya ingin dia ada disampingku sekarang. Menemaniku. Dan menyimpan beribu curhatku.

Hikksss... aku tak dapat membendung air mata walau dibuat waduk dengan lebar lebih dari lima puluh hektar. Hatiku amat sakit sekaligus sedih.

Beberapa hari yang lalu, aku pulang dari sekolah lebih lambat karena aku mengikuti ekskul yang sama dengan Roxy. Sama-sama di ekskul cheerleader.

Roxy, terpilih menjadi kapten cheerleader yang dijabatnya kurang lebih sudah dilewati 30 hari terakhir. Itu karena Stevanie, mantan kapten cheerleader mengundurkan diri karena dia lebih suka mengikuti ekskul modeling daripada cheers. Aku tak tau mengapa.

Hampir setiap minggu, cheers latihan. Hari itu, hari bersejarah dalam hidupku. Karena aku yang ceroboh.

Saat pulang, aku tak menyadari dimana Roxy. Sepertinya dia bersama Angel dan Martha karena tadi dia mengatakan, dia ingin memakan roti di kantin. Aku akhirnya menunggu.

Tapi, sudah 15 menit. Awan mulai mendung, aku mengutak-atik handphone ku. Tidak ada satupun panggilan masuk ataupun pesan dari Roxy. Aku pun memutuskan untuk pulang sendiri.  

Jalan raya sepi. Akun asyik-asyik menyebrang sambil membuka twitter. Aku tak menyadari, dari arah berlawanan, mobil minibus berlaju dengan kecepatan sangat kencang.


"AAAA!" aku berteriak sangat kencang.

Sebelum aku tertabrak, seseorang mendorongku ke trotoar. Aku merasakan sikutku sedikit perih serta tempurung lututku. Tapi, aku tak memedulikannya. Paling hanya lecet. Aku hanya berbalik ke belakang. Melihat kejadian kecelakaan tragis itu.Dan siapa yang menolongku?

Aku melihat minibus itu berhenti. Sopirnya kabur. Banyak orang mengerumuni. Aku melihat seseorang berlumuran darah. R ... R ... ROXY!

"ROXY!" aku berteriak. Mengguncang-guncangkan tubuhnya. Ambulans datang menggotong Roxy dan aku. Kami dibawa ke rumah sakit.

Di rumah sakit, aku tidak apa-apa. Aku hanya diberi obat betadin untuk menyembuhkan lukaku. Tapi Roxy? Dia masih di UGD. Kepalanya berlumuran darah. Aku sangat takut. Hanya air mata yang keluar. Aku menghubungi orangtua Roxy. Mereka dalam pencarian tiket pesawat. Ayah dan Ibu Roxy sedang dinas di Belgia. Sementara Mama dan Papa ku akan datang beberapa menit lagi.

Tak lama, Mama dan Papa datang. Dia memelukku.

"Kamu sehat kan Meena?" kata Papa.
"Iya Pa! Meena sehat! Tapi lihat ... bagaimana Roxy?" tandasku.
Dokter keluar. Dokter itu bernama Dokter Pevita.

"Maafkan saya, dia harus dioperasi. Ada kanker di kepalanya," kata Dokter Pevita. Aku hanya mendengar dua kata. Operasi ... kanker ... dan satu kata lagi! Kepala ...

Ayah dan Ibu Roxy datang. Dia melihat kondisi putrinya yang mengenaskan. Dokter mengoperasi Roxy.

Aku disuruh pulang. Banyak istirahat dan makan makanan bervitamin tinggi. Tapi, kepalaku hanya teringat Roxy ... Roxy ... dan Roxy! Bagaimanapun juga, aku yang salah! Kenapa aku ceroboh? Dan Roxy yang harus sakit?

Esok harinya, Roxy selesai di operasi. Aku menuju kamar Roxy.

"Kamu sudah selesai operasi, Ro? Bagaimana keadaanmu?" aku memastikan.
"Tidak apa-apa, tapi, kepalaku sedikit pusing. Jam 12 malam tadi, aku selesai operasi Meena. Maafkan aku karena lama makan di kantin, sehingga kamu hampir celaka!" kata Roxy.
"Maafkan aku pula Roxy! Seharusnya aku yang disini. Bukan kamu! Aku yang seharusnya sakit! Bukan kamu!" kataku. Tangisku mulai pecah.

Roxy menulis di selembar kertas karton. Dia menunjukkannya padaku. tulisannya ...

DON'T CRY MEENA, MY BEST FRIEND.

Aku terdiam, kata-kata itu sangat berarti bagiku. Karena aku baru menyadarinya, itulah kata terakhir yang ditulisnya.

Aku pulang. Aku mulai menghapus air mataku. Tiba-tiba, HP Mama berbunyi. Mama menerima SMS! Mama terkejut dan menyampaikannya padaku yang tengah berhenti menangis di kamar.

"Me ... Meena ... Lima menit yang lau, Roxanne Frieska Nakula sudah pergi meninggalkan kita semua. Dia pergi dengan senyum manisnya. Dan kertas berisi puisi untuk sahabat terbaiknya .." kata Mama.

Aku terdiam. Dua detik kemudian. Refleks, aku menangis. Aku segera pergi ke rumah sakit. Melihat jenazah Roxy, aku menangis kencang. Aku melihat secarik kertas.

Kamu yang menemaniku
Kamu yang merasakan sakit hatiku
Kamu yang merasakan kepedihanku
Dan ... kamu yang mengingatku
Maafkan aku jika aku pergi. Sebenarnya, Dokter Pevita bohong
Dia bilang, aku sakit kanker. Memang benar. Sudah dua bulan kanker menggerogotiku. Tapi, aku tetap gigih melawan penyakitku.
Dokter Pevita tidak mengoperasiku
Aku yang menyuruhnya saat aku siuman
Agar kamu tak bersedih
Jangan sedih karena kepergianku, Meena
Aku akan selalu ada di sisimu
Di sampingmu
Dihatimu
SELAMANYA




Tidak ada komentar:

Posting Komentar